serberita: Tipikor
Showing posts with label Tipikor. Show all posts
Showing posts with label Tipikor. Show all posts

Tuesday

Buntut Kasus Suap Indramayu, KPK Panggil Empat Anggota DPRD Jabar

Ilustrasi (Foto: Net)

wartaindustri.id | JAKARTA
 - Kasus dugaan suap pengaturan proyek di lingkungan Pemkab Indramayu Tahun 2019 masih berbuntut panjang.


Hari ini, Selasa (27/4/2021) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil empat Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar) dalam upaya penyidikan kasus tersebut.


"Keempatnya dipanggil sebagai saksi untuk tersangka ABS (Ade Barkah Surahman/Anggota DPRD Jabar)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (27/4/2021).


Empat Anggota DPRD Jabar itu adalah Yod Mintaraga, Eryani Sulam, Dadang Kurniawan, dan Lina Ruslinawati.


KPK pada 15 April 2021 telah menetapkan Ade Barkah dan mantan Anggota DPRD Jabar Siti Aisyah Tuti Handayani (STA) sebagai tersangka.


KPK menduga Ade Barkah menerima suap Rp750 juta. Sedangkan Siti Aisyah diduga menerima Rp1,050 miliar.


Keduanya disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ayat 1 ke-1 KUHP.


Diketahui, kasus tersebut adalah salah satu dari banyak kasus yang diawali dari kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) KPK.


Pada 15 Oktober 2019, KPK menggelar kegiatan tangkap tangan di Indramayu.


Hasilnya, KPK menetapkan empat orang sebagai tersangka, yaitu Bupati Indramayu 2014-2019 Supendi, Kepala Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Omarsyah, Kepala Bidang Jalan di Dinas PUPR Kabupaten Indramayu Wempy Triyono, dan Carsa ES dari pihak swasta.


Saat ini, empat orang tersebut telah divonis Majelis Hakim Tipikor dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.


Kasus tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut dan pada Agustus 2020, KPK menetapkan tersangka lain, yakni Anggota DPRD Jabar Abdul Rozaq Muslim. Saat ini, masih dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Bandung.


Dalam konstruksi disebut bahwa Carsa diduga menyerahkan uang kepada Ade Barkah secara langsung dengan total sebesar Rp750 juta.nCarsa juga diduga memberikan uang secara tunai langsung kepada Abdul Rozaq maupun melalui perantara dengan total sekitar Rp 9,2 miliar.


Dari uang yang diterima Abdul Rozaq tersebut kemudian diduga diberikan kepada Anggota DPRD Jabar lain di antaranya Siti Aisyah dengan total Rp1,050 miliar. (Antara)

Thursday

Terbukti Suap Edhy Prabowo, Suharjito Divonis Dua Tahun Penjara

(Foto: Net)

wartaindustri.id | JAKARTA –
 
Pemilik sekaligus Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP) Suharjito terbukti menyuap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.


Suharjito terbukti menyuap Edhy Prabowo senilai total Rp2,146 miliar yang terdiri atas 103.000 dolar AS (sekitar Rp1,44 miliar) dan Rp706.001.440,00.


"Mengadili, menyatakan terdakwa Suharjito terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara berlanjut," kata Ketua Majelis Hakim Albertus Usada di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (21/4) malam.


Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Suhardjito dengan pidana penjara selama 2 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta dengan ketentuan bila denda tidak dibayar diganti pidana kurungan selama 3 bulan.


Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang meminta agar Suharjito divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.


Majelis hakim menyebutkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam perbuatan Suharjito.


Hal yang memberatkan, terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi.


Sementara itu, hal yang meringankan terdakwa belum pernah dipidana, terdakwa merupakan tulang punggung keluarga, terdakwa kooperatif dalam menjalani proses peradilan.


Terdakwa juga memberi keterangan secara berterus terang dalam persidangan, dan terdakwa menjadi gantungan hidup lebih dari 1.250 karyawan PT DPPP.


Hal lain  yang meringankan, kata hakim Usada, terdakwa setiap tahun peduli memberikan kesempatan 10 karyawan/karyawati beragama Islam untuk melakukan ibadah umrah. Sementara itu, bagi karyawan nonmuslim, berziarah ke tanah suci sesuai keyakinan dan agama yang dianut.


"Terdakwa berjasa membangun 2 masjid dan rutin memberikan santunan kepada yatim piatu dan kaum duafa di Jabodetabek," kata hakim Usada.


Suharjito terbukti melakukan perbuatan seperti dakwaan pertama dari Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20/2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.


Majelis hakim yang terdiri atas Albertus Usada, Suparman Nyompa, dan Ali Mukhtarom tersebut juga memberikan status pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).


Dalam perkara ini PT DPPP adalah perusahaan yang bergerak di bidang ekspor dan impor produk pangan, antara lain benih bening lobster (BBL), daging ayam, daging sapi, dan daging ikan.


Pada tanggal 4 Mei 2020, Edhy Prabowo menerbitkan Peraturan Menteri KKP No 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah NKRI yang isinya, antara lain mengizinkan budi daya dan ekspor BBL.


Edhy lalu membentuk tim uji teknis dengan ketua Andreau Misanta Pribadi dan wakil ketua Safri, keduanya adalah staf khusus Edhy Prabowo.


Suharjito kemudian menemui Edhy Prabowo di rumahnya. Edhy memperkenalkan Safri selaku staf khusus Menteri KKP. Suharjito selanjutnya berkoordinasi dengan Safri untuk mengurus izin budi daya dan ekspor benih lobster.


Untuk mendapatkan izin tersebut, PT DPPP harus memberikan uang komitmen kepada Edhy Prabowo melalui Safri sebesar Rp5 miliar yang dapat diberikan secara bertahap sesuai dengan kemampuan perusahaan.


Uang diberikan secara bertahap, yaitu pertama pada tanggal 16 Juni 2020 di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan sebesar 77.000 dolar AS yang diserahkan Suharjito kepada Safri. Safri lalu menyerahkan uang tersebut kepada sekretaris pribadi Edhy Prabowo, Amiril Mukminin, untuk disampaikan kepada Edhy Prabowo.


Kedua, uang fee diberikan kepada Safri pada tanggal 8 Oktober 2020 di ruang kerja Safri sebesar 26.000 dolar AS.


PT DPPP lalu membayar biaya operasional ke PT Aero Citra Kargo (ACK) PT Perishable Logistics Indonesia (PLI) untuk ekspor BBL sebesar Rp1.800,00 per ekor BBL dengan pembagian pendapatan operasional PT PLI sebesar Rp350,00/ekor BBL dan PT ACK mendapat Rp1.450.


Pada bulan September - November 2020, PT DPPP telah melakukan ekspor BBL ke Vietnam sebanyak sekitar 642.684 ekor BBL menggunakan jasa kargo PT ACK dengan biaya pengiriman seluruhnya Rp940.404.888,00.


"Dengan demikian, pada bulan September-November 2020, terdakwa Suharjito melalui saksi Amiril Mukminin, Andreau Misanta Pribadi, Siswadi Prantoto Loe, dan Ainul Faqih telah memberikan kepada Edhy Prabowo sebesar Rp706.001.440,00 karena uang ini menjadi bagian tidak langsung yang diberikan kepada Edhy Prabowo," kata hakim.


Pembagian saham PT ACK adalah Achmad Bactiar dan Amri sebagai representasi Edhy Prabowo masing-masing sebesar 41,65 persen dan Yudi Surya Atmaja (representasi pemilik PT PLI, Siswadhi Pranoto Loe) sebanyak 16,7 persen.


Bagian Finance PT ACK bernama Nini pada periode Juli-November 2020 membagikan uang yang diterima dari PT DPPP dan perusahaan-perusahaan eksportir BBL lain kepada Achmad Bachtiar senilai Rp12,312 miliar, Amri senilai Rp12,312 miliar, dan Yudi Surya Atmaja sebesar Rp5,047 miliar.


Uang dari biaya operasional itu lalu dikelola Amiril Mukminin atas sepengetahuan Edhy Prabowo, kemudian untuk membeli sejumlah barang atas permintaan Edhy Prabowo.


Atas putusan tersebut, Suharjito langsung menyatakan menerima putusan, sementara JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari. (Antara)

Sunday

Survei LSI buat PNS: Korupsi Meningkat, Paling Rawan Bagian Pengadaan

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan (Foto: Net)

wartaindustri.id | JAKARTA –
Kalangan pegawai negeri sipil (PNS) menilai, saat ini korupsi kian meningkat dan tempat yang dianggap paling rawan terjadinya korupsi di pemerintahan adalah bagian pengadaan.


Bagian tersebut menempati urutan teratas dengan skor 47,2 persen, disusul oleh perizinan usaha 16 persen, keuangan 10,4 persen, pelayanan 9,3 persen, personalia 4,4 persen, dan lainnya satu persen.


"11,6 persen responden tidak tahu atau memilih tidak menjawab," kata Djayadi Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, saat membacakan hasil survei terkait persepsi korupsi pada kalangan PNS di Indonesia, Minggu (18/4/2021).


Dalam survei yang sama, mayoritas responden turut beranggapan tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah adalah penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi (26,2 persen).


Kemudian disusul oleh kerugian keuangan negara (22,8 persen), gratifikasi (19,9 persen), dan suap (14,8 persen).


Di samping itu, para responden yang seluruhnya PNS, juga berpendapat masih ada upaya penggelapan dalam jabatan (4,9 persen), perbuatan curang (1,7 persen), pemerasan (0,2 persen), dan lain-lain (2,3 persen).


Secara umum dalam survei itu terungkap mayoritas pegawai negeri sipil (PNS) dari 34 kementerian/lembaga tingkat pusat dan pemerintah daerah beranggapan korupsi di Indonesia saat ini kian memburuk atau terus meningkat.


"Sekitar 34,6 persen (PNS) menjawab tingkat korupsi di Indonesia saat ini meningkat, sementara 33,9 persen menyatakan tidak ada perubahan, dan 25,4 persen mengatakan (korupsi di Indonesia) menurun," kata Djayadi Hanan.


Survei terkait persepsi korupsi itu merupakan bagian dari penelitian mengenai "Tantangan Reformasi Birokrasi: Persepsi Korupsi, Demokrasi, dan Intoleransi di Kalangan PNS" yang digelar oleh LSI pada periode 3 Januari sampai 31 Maret 2021.


Setidaknya, ada kurang lebih 915.504 pegawai negeri sipil atau 22 persen dari keseluruhan jumlah PNS di Indonesia yang terpilih sebagai responden survei.


Dengan demikian, kesimpulan atau temuan yang disampaikan oleh LSI dalam survei persepsi korupsi itu mewakili 22 persen jumlah PNS di Indonesia, kata Djayadi.


Meskipun mayoritas PNS menyebut ada peningkatan korupsi di Indonesia, jumlahnya masih cukup rendah apabila dibandingkan dengan persepsi publik terhadap situasi korupsi di Indonesia.


"Secara umum, persepsi PNS terhadap situasi korupsi di Indonesia lebih positif dibandingkan dengan masyarakat umum maupun pelaku usaha dan pemuka opini (opinion maker)," ujar Djayadi pula.


Pasalnya, apabila mengacu pada hasil survei LSI terkait persepsi publik terhadap korupsi pada Desember 2020 sebanyak 56,4 persen dari total responden beranggapan rasuah di Indonesia meningkat.


Tidak hanya itu, 58,3 persen pelaku usaha dan 57,6 persen pemuka opini, juga memiliki persepsi yang sama.


Walaupun demikian, Djayadi menegaskan salah satu catatan penting pada hasil survei itu bukan hanya masyarakat umum yang beranggapan korupsi di Indonesia memburuk, tetapi juga para PNS. (ant/warin 03)

Saturday

Empat Hal Penyebab Kepala Daerah Korupsi dan Solusinya

Asep Warlan Yusuf (Foto: Net)

wartaindustri.id | BANDUNG –
Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Jawa Barat dikejutkan dengan maraknya kasus korupsi kepala daerah. Bahkan hampir setengah daerah di Jawa Barat, pernah punya bupati atau walikota yang mengenakan rompi oranye KPK.


Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf menyoroti perilaku korup kepala daerah tersebut.


Menurutnya, ada empat faktor yang membuat seorang kepala daerah terjerat kasus tindak pidana korupsi.


Pertama ialah biaya politik yang besar sehingga saat calon kepala daerah akan berkompetisi di pilkada dibutuhkan modal yang besar.


Pada momentum tersebut, biasanya ada pihak-pihak tertentu yang mendekati calon kepala daerah untuk menjadi donatur atau pemberi dana di ajang pilkada atau disebut dengan investasi politik.


"Investasi politik biasanya tidak gratis, enggak ada makan siang gratis. Jadi kalau Anda terpilih kami bisa lah minta sesuatu atau imbalan. Nah ternyata, ini tidak berhenti saat proses pilkada, tapi setelah pilkadanya juga mereka perlu biaya untuk tim pendukung atau untuk partai," katanya seperti dikutip Antara, Jumat (16/4/2021).


Faktor kedua ialah kepala daerah terpilih biasanya mengotak-ngatik aturan atau norma yang menjadi cara mereka mendapatkan keuntungan atau mendapatkan bagian dari anggaran.


Biasanya hal tersebut dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan birokrasi di pemda atau pemegang proyek,” imbuhnya.


Itu biasanya berkaitan dengan mencari celah, mencari cara untuk bisa mendapatkan keuntungan dari situ.


Jadi ini soal mencari peluang untuk memperkaya diri dengan cara mengotak-ngatik pasal-pasal atau pengawasan,” katanya lagi.


Faktor ketiga ialah gaya hidup seorang kepala daerah dan keluarganya sebelum dan sesudah terpilih berbeda.


Kebutuhan untuk mencari uang setelah terpilih itu tinggi karena mereka ingin kalau tidak bertarung lagi di pilkada ya untuk investasi.


Gaya hidup ini soal gaya hidup yang tidak wajar, sehingga harus mencari uang yang banyak,” tandasnya.


Faktor keempat, seorang kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi karena integritas yang rendah.


"Kalau dia integritasnya bagus walaupun diganggu oleh partai, pengusaha, keluarga, birokrasi kalau imannya kuat maka tidak akan terjadi itu,” tambah Asep.


Seharusnya, tutur Asep, parpol menetapkan syarat integritas tersebut saat mencari calon kepala daerah untuk berlaga di pilkada. Bukan hanya mencari calon yang kaya, tampan atau cantik, atau populer semata.


Lantas Asep Warlan pun menawarkan tiga solusi agar tindak pidana korupsi tidak dilakukan oleh kepala daerah.


Pertama, negara harus menanggung biaya politik bagi calon kepala daerah yang akan berlaga di pilkada, tidak dibebankan sepenuhnya kepada calon kepala daerah.


Sehingga kader atau calon kepala daerah yang tak punya uang, tapi dia punya pengabdian tinggi, loyal dan berkualitas, bisa bertarung di pilkada karena negara menjamin orang terbaik bisa ikut kompetisi di pilkada,” katanya.


Solusi kedua, harus ada Undang-Undang Pengawasan Internal Pemerintahan yang menjadikan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah atau APIP sebagai KPK-nya birokrasi.


Kalau KPK itu mengumumkan, bisa untuk siapa saja. Nah kalau APIP khusus untuk birokrasi. Saat ini oleh inspektorat,” imbuhnya.


Solusi ketiga adalah partai politik juga harus diberi sanksi jika ada anggota atau kadernya melakukan tindak pidana korupsi.


Selama ini, kalau ada kader partai yang melakukan korupsi maka kadernya tersebut akan dipecat. Tapi partainya sendiri tidak pernah disentuh oleh hukum sama sekali. (ant/warin 03)

Kisah Aa Umbara: Dari PDIP ke Koalisi Akur hingga Jadi Tersangka KPK

Aa Umbara Sutisna (kiri) bersama Hengky Kurniawan. (Foto: Net)

wartaindustri.id | BANDUNG RAYA –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Aa Umbara Sutisna sebagai tersangka korupsi dalam pengadaan barang tanggap darurat bencana Pandemi Covid-19 pada Dinas Sosial (Dinsos) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung Barat Tahun 2020, Kamis (1/4/2021).


Aa Umbara adalah Bupati Kabupaten Bandung Barat, yang terpilih pada Pilkada 2018 lalu. Berpasangan dengan artis Hengky Kurniawan, sebagai wakilnya.


Keduanya diusung oleh koalisi Partai Nasdem, PKS, Demokrat, PAN, dan PKPI, yang saat itu menamakan dirinya sebagai Koalisi Akur.


Padahal sejatinya Aa Umbara adalah kader tulen PDIP. Karier politiknya sejak awal dibangun melalui partai berlambang banteng tersebut. Selama menjadi anggota PDIP, dirinya juga sempat menempati sejumlah posisi strategis.


Salah satunya adalah kariernya di dunia legislatif yang ditandai dari keberhasilannya menjadi anggota DPRD Kabupaten Bandung. Setelah itu dirinya berhasil menduduki Ketua Komisi C sejak tahun 2004 hingga tahun 2009.


Pria pituin kelahiran Lembang itu juga sempat menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bandung Barat selama dua periode. Periode pertama pada tahun 2009 hingga 2014 dan periode kedua tahun 2014 hingga tahun 2018.


Sukses memimpin DPRD Bandung Barat, pria kelahiran 7 Februari 1963 tersebut terpilih sebagai Bupati Bandung Barat periode 2018 hingga 2023 didampingi oleh Hengky Kurniawan.


Seperti diketahui, di Pilkada KBB 2018, PDIP mengusung pasangan Elin S Abubakar - Maman S Sunjaya. Pasangan ini juga diusung Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa KBB.


Itulah salah satu alasan Aa Umbara loncat pagar ke Koalisi Akur. Konsekwensinya jelas, ia dipecat dari keanggotaan PDIP.


Uniknya, sebelum Aa Umbara digelandang KPK, wakil bupatinya Hengky Kurniawan keluar dari lingkungan partai Koalisi Akur, yakni Partai Demokrat. Lalu masuk ke PDIP, partai lama pasangannya, Aa Umbara.


Itulah sebabnya, ketika Aa Umbara ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,  Pengurus DPD PDIP Jawa Barat langsung meresponsnya, dengan meminta kader partainya yang baru Hengky Kurniawan untuk bersiap-siap mengambil alih kendali pemerintahan.


Bahkan Ketua DPD PDI Perjuangan Jabar, Ono Surono meminta Hengky Kurniawan memperbaiki catatan buruk kasus korupsi di Pemkab Bandung Barat.


"Belum tahu apakah (Hengky Kurniawan) sudah diangkat jadi pelaksana tugas bupati atau belum, kami tunggu proses hukum saja," kata Ono.


Seperti dikabarkan berbagai media, selain Aa Umbara Sutisna (AUS) KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yakni anak Aa Umbara, Andri Wibawa (AW) sebagai pihak swasta, dan M Totoh Gunawan (MTG) sebagai pemilik PT Jagat Dir Gantara sekaligus CV Sentral Sayuran Garden City Lembang.


Namun, Aa Umbara dan anaknya belum ditahan KPK karena alasan sakit.


Tak lama setelah penetapan tersangka, kediaman Aa Umbara di Jalan Murhadi Desa/Kecamatan Lembang tampak sepi. Tidak banyak mobil terparkir seperti biasanya. (ant/mer/akur/warin 03)

Ad Placement


Copyright © serberita

Teknologi