serberita: Catatan Kaki
Showing posts with label Catatan Kaki. Show all posts
Showing posts with label Catatan Kaki. Show all posts

Saturday

Ragam Kekayaan Bahasa dan Budaya di Purwakarta

Ilustrasi: "Nyangu koneng" sebelum menggarap sawah, salah satu budaya di pedesaan Purwakarta. (Foto: Neng Putri)

Oleh: Budi Rahayu Tamsyah

 

Kekayaan budaya Purwakarta tak bisa dilepaskan dari persentuhan daerahnya dengan daerah lain. Paling tidak, ada empat daerah yang bersentuhan dengan Kabupaten Purwakarta yakni Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Cianjur.

 

Dari segi bahasa, persentuhan tersebut menciptakan isogloss (garis imajiner lingustik) yang menarik.

 

Wilayah Timur: Kiarapedes, Wanayasa, dan Bojong bersentuhan dengan wilayah budaya Subang dan Bandung Barat. Wilayah Selatan: Maniis, Tegalwaru, Sukasari, dan Plered bersentuhan dengan wilayah budaya Cianjur.

 

Di antara keduanya ada Darangdan, Sukatani, dan sebagian Plered yang bersentuhan dengan wilayah Bandung Barat.

 

Kemudian wilayah utara dan barat: Cibatu, Campaka, Bungursari, dan Babakancikao bersentuhan dengan wilayah budaya Karawang dan Subang Utara (Kaler).

 

Sementara di bagian tengah, Purwakarta Kota adalah percampuran dari keempat wilayah budaya tersebut. Di antara keduanya terdapat wilayah yang secara sosiologis termasuk daerah suburb, seperti Pasawahan dan Jatiluhur. Tentu saja akan menciptakan isogloss tersendiri.

 

Siapapun sepakat, bahwa bahasa tidak bisa dilepaskan dari budaya masyarakatnya. Begitu pula sebaliknya. Karena bahasa merupakan alat utama pewarisan budaya turun-temurun.

 

Di Purwakarta juga terdapat beberapa enklave budaya yang tak kalah menariknya. Di Purwakarta (Kota) misalnya, ada enklave Pasar Rebo tempat yang sebagian besar dihuni warga beretnis Arab.

 

Mereka sudah sejak lama diam di sana dan kini sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Purwakarta. Dengan kata lain telah menjadi orang Purwakarta. Bahasa yang dipergunakannya pun adalah bahasa Sunda, sebagaimana lazimnya urang Purwakarta.

 

Bahasa Sunda yang mereka pergunakan, sebut saja bahasa Sunda Arab Pasar Rebo menjadi dialek tersendiri di Purwakarta. Dan turut mewarnai perkembangan bahasa Sunda di Purwakarta.

 

Banyak kata-kata yang berasal dari sana dikenal dan dipergunakan, tak hanya di Pasar Rebo, tetapi juga di hampir seluruh daerah di Purwakarta. Misalnya kata-kata: ana, ente, harim, rijal, dan ajib. Dan tentu saja masih banyak kata-kata lainnya.

 

Enklave lainnya adalah wilayah Sukasari. Wilayahnya yang terpencil berada di seberang Waduk Jatiluhur, akan menciptakan bahasa dan budaya tersendiri.

 

Bagaimanapun semuanya adalah kekayaan budaya Purwakarta, yang sungguh sayang jika tidak terdokumentasikan dengan baik.

 

  • Budi Rahayu Tamsyah, Pemimpin Redaksi Warta Industri dan beberapa media lainnya; penggiat budaya, leksikolog, juga penulis buku pelajaran bahasa Sunda. Tinggal di Wanayasa, Purwakarta. 

Friday

Asal-usul Nama Desa Karedok di Sumedang

Jembatan gantung melintasi Sungai Cimanuk akses masuk ke Desa Karedok, yang baru dan yang lama. (Foto: Net)

Penulis: Budi Rahayu Tamsyah

 

Wakil Gubernur Jawa Barat baru saja meresmikan Desa Karedok sebagai salah satu Desa Wisata di Jawa Barat, Kamis (8/4/2021).

 

Banyak kalangan heran dengan nama desanya, yaitu karedok. Padahal umumnya orang Sunda tahu, karedok itu makanan khas Sunda sejenis lotek atau gado-gado. Ada karedok leunca, karedok terong, karedok kacang panjang, dan sebagainya.

 

Desa yang terletak di pinggir Sungai Cimanuk itu, secara administratif masuk ke Kecamatan Jatigede, Kabupaten Sumedang. Posisinya kira-kira dua kilometer sebelah utara Bendungan Jatigede.

 

Lantas mengapa bernama Karedok? Masyarakat setempat punya kisah yang cukup menarik.

 

Dahulu, pada masa Pangeran Aria Suria Atmaja menjadi Bupati Sumedang (1883-1919 M), desa itu hanya sebuah kampung kecil bernama Kampung Dobol. Letaknya memang tidak jauh dari Sungai Cimanuk.

 

Pangeran Aria Suria Atmaja mempunyai hobi ngalintar, yaitu menjala ikan dengan lintar (semacam kecrik) di sungai.

 

Suatu hari Sang Bupati ngalintar di Leuwi Kiara, yang berada di kawasan Kampung Dobol.

 

Namanya juga orang kampung, jika kedatangan menak, tentu selalu berupaya menyenangkan hati sang tamu. Apalagi ini, kedatangan bupati, disebutnya pun tamu agung.

 

Tanpa dinyana, tanpa disangka, Pangeran Aria Suria Atmaja setelah ngalintar di Leuwi Kiara, mendadak datang ke Kampung Dobol. Maksudnya untuk beristirahat.

 

Warga kampung sangat bahagia kedatangan tamu agung. Namun di balik itu, mereka kecewa dan sangat malu karena tidak bisa menyambut sang tamu agung selayaknya. Maklum tanpa persiapan sebelumnya.

 

Padahal saat itu, Pangeran Aria Suria Atmaja tampak kelelahan. Maksudnya datang ke Kampung Dobol itu, ya itu tadi, untuk sekadar melepas lelah. Tinggallah warga Kampung Dobol yang kebingungan, karena tak ada makanan yang layak buat menjamunya.

 

Tak disangka-sangka, ada seorang warga yang menyodorkan karedok kepada Kangjeng Dalem, sebutan untuk bupati saat itu.

 

Maafkan saja, Gusti Dalem, semoga berkenan memaafkan kami, karena di kampung ini tidak ada makanan yang enak,” katanya sambil menyodorkan karedok.

 

“Wah, terima kasih saya disodori makanan. Tampaknya nikmat, karena sudah lama saya tidak makan karedok,” kata Kangjeng Dalem, yang dikenal merakyat itu.

 

Setelah dicicipi, ternyata Kangjeng Dalem tampak lahap, hanya dalam sekejap karedok pun tandas.

 

“Tuh, bener kan, kata saya juga. Karedok ini betul-betul nikmat, sampai tandas begini,” ujar Kangjeng Dalem.

 

Setibanya di Pendopo Sumedang, pengalaman makan karedok di Kampung Dobol, menjadi buah bibir Kangjeng Dalem. Sampai-sampai sesepuh Sumedang dan orang kepercayaannya merasa “uruy” (menelan air liur) mendengar cerita Kangjeng Dalem.

 

“Kalau begitu, saya juga mau tahu karedok Kampung Dobol. Besok-lusa saya akan ke Kampung Dobol, sambil sekalian ngalintar di Leuwi Kiara,” kata sesepuh Sumedang.  

 

Sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya, suatu hari Sesepuh Sumedang pun sengaja datang ke Kampung Dobol. Tentu saja dengan beberapa orang pengiringnya.

 

Karena sudah ada kabar sebelumnya, bakal ada menak lagi yang datang ke Kampung Dobol, warga pun bersiap-siap. Terutama menyiapkan karedok untuk menjamu para tamu.

 

Ketika Sesepuh Sumedang dan rombongannya tiba, langsung dijamu dengan karedok.

 

“Wah, benar saja. Karedok ini nikmat sekali. Pantas lah Kangjeng Dalem kerap bercerita tentang karedok dari kampung ini. Malah sampai menyebut Kampung Karedok segala,” kata Sesepuh Sumedang.

 

Sesepuh Sumedang mengatakan hal itu di depan masyarakat Kampung Dobol.

 

Rupanya perkataan Sesepuh Sumedang itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi warga setempat. Sampai akhirnya nama Kampung Dobol diganti menjadi Kampung Karedok. Sampai sekarang.

 

Dan sekarang Kampung Karedok berkembang menjadi sebuah desa, namanya Desa Karedok. Desa yang sarat sejarah dan seni budaya Sunda. Pantas jika kemudian ditetapkan menjadi Desa Wisata. (Red)

Monday

Kisah Carita, Pantai, Kulon Bestari dan Sampah

Bersih-bersih sampah di Pantai Sukajadi, Carita, Pandeglang. (Foto: Ist.)

Penulis: Hanifah Istiqomah


Sukajadi merupakan desa yang letaknya cukup strategis. Memiliki garis pantai sepanjang 2,73 km menjadikan desa ini sebagai desa wisata. Namun hal tersebut membuat desa yang berada di Kecamatan Carita, Kabupaten Pandeglang ini, menjadi desa dengan lingkungan rentan tercemar sampah.

 

Sampah rumah tangga mendominasi desa ini, karena belum adanya Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) dan Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPSA). Selain itu banyaknya jumlah wisatawan menambah jumlah asupan sampah di desa ini.



Hanifah (kanan) sedang mengedukasi warga. (Foto: Ist.)

Banyaknya warga yang membuang sampah pada aliran sungai membuat sampah banyak terkumpul di muara laut. Kemudian bertemu dengan sampah wisatawan dan sampah laut lainnya, membuat jumlah sampah di desa ini cukup banyak.

 

Banyaknya sampah di desa tersebut membuat teman-teman Komunitas Kulon Bestari melakukan beberapa gerakan sejak bulan Januari 2021. Di antaranya Beach Clean Up, Edukasi Sekolah, Edukasi Warga (Door to Door dan Workshop) dan kegiatan lainnya. Pelaksanaan Beach Clean Up, dilakukan setiap bulan.

 

Dari data yang terkumpul terlihat  bahwa sampah yang mendominasi pada sekitaran pantai adalah 60% yakni sampah popok dan pembalut, selanjutnya adalah sampah plastik sekali pakai sebanyak 30%, dan 10%  adalah gabungan sampah lainnya.

 

Kegiatan dilakukan dengan melibatkan beberapa gabungan komunitas Kulon Bestari, KOMPAK (Kelompok Konservasi Masyarakat Pegiat Lingkungan), MAB  (Mata Air Banten), dan beberapa siswa dari SMA setempat.

 

Edukasi sekolah atau dikenal dengan BERTAUT sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Dilakukan per setiap bulan, sampai saat ini sudah di BERTAUT 3.0 dengan jumlah total siswa yang teredukasi sebanyak 201 siswa.

 

Selain edukasi sekolah dilakukan pula edukasi kepada warga setempat. Edukasi warga terbagi dua, Door to Door dan Workshop. Total warga yang sudah teredukasi 100 warga di Dusun Pagedongan dan Dusun Kasepen.

 

Edukasi yang diberikan lebih dititik beratkan pada “menghindari pembuangan sampah di aliran air” dan “pengurangan sampah plastik”.

 

Gabungan komunitas yang perduli kebersihan Pantai Sukajadi.

Kulon Bestari bersama KOMPAK dan Komunitas Rehabilitasi Pandeglang menyelenggarakan Workshop di Dusun Pagedongan  dengan tema pengelolaan sampah secara berkelanjutan pada Jum’at (26/3/2021).

 

Pembicara pertama dari perwakilan Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Banten, Lukmanulhakim.

 

Dia menanggapi permasalahan sampah Desa Sukajadi serta menyampaikan tindak lanjut dan arahan kepada peserta untuk tetap konsisten menjaga lingkungan. Disampaikan juga sedikit bagaimana cara pembentukan Bank Sampah yang dapat dikelola secara mandiri oleh pemuda setempat.

 

Pembicara selanjutnya rekan dari Komunitas Rehabilitasi Pandeglang, Fikri Al Jufri. Fikri  merupakan penggagas dan ketua komunitas tersebut, menjelaskan bagaimana mereka mengatasi permasalahan sampah di daerah sekitar mereka.

 

Fikri juga menegaskan berulang-ulang bahwa “Banten bukan menara sampah”. Oleh karenanya sejak 2017 lalu hingga kini Fikri bersama teman-temannya aktif mengatasi sampah dengan membuat ecobrick yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain.

 

“Perlu keseriusan dan keberlanjutan dalam upaya mengatasi permasalahn sampah,” ujar Fikri.


Lanjut fikri, penting dilakukannya kolaborasi yang bersinergi  antara komunitas dan stakeholder yang ada, namun bukan sekadar seremonial semata.

 

Edukasi kepada masyarakat juga harus terus dilakukan agar masyarakat mampu mempersiapkan diri untuk selanjutnya pembentukan TPS (Tempat Pembuangan Sampah), 3R (reduce, reuse dan recyle).

 

“Hal tersebut guna menjadikan masyarakat lebih mandiri dalam mengelola sampah dan menjaga lingkungan, pungkasnya. (Red)


*Hanifah Istiqomah, penulis, tinggal di Pandeglang, Banten.

Beda-beda Tipis, Anggaran Pilkadestak Karawang dan Purwakarta


Oleh : Akhmad Munasah


Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta sama-sama akan melangsungkan Pemilihan Kepala Desa Serentak (Pilkadestak).


Bedanya, Kabupaten  Karawang,   pelaksanaannya tidak lama lagi, yakni 21 Maret 2021. Sedangkan Kabupaten Purwakarta yakni tanggal 25 Agustus 2021, melewati Bulan Puasa dan Lebaran.


Perbedaan lainnya, Kabupaten Karawang yang akan melaksanakan Pilkadestak di 177 desa. Sedangkan Kabupaten Purwakarta di 170 desa.


Masih beda-beda tipis, ya.


Kemudian perbedaan lainnya adalah jumlah tempat pemungutan suara (TPS). Di Pilkadestak Karawang berjumlah sekitar 1.810 TPS dan di Kabupaten Purwakarta, TPS berjumlah 1.210.


Perbedaan mulai menebal. Berbeda tak kurang dari 600 TPS. Di Karawang lebih banyak.


Ada perbedaan lain, yang perlu menjadi “pikiraneun” bersama. Yakni soal anggaran yang disediakan oleh setiap pemerintah kabupaten, baik Karawang maupun Purwakarta.


Anggaran per orang di Pilkadestak Karawang kisarannya sebesar Rp. 5.700 per orang. Sedangkan dalam Pilkadestak Purwakarta sekitar Rp. 7.500 per orang.


Lebih tinggi anggaran di Purwakarta, padahal kalau ditilik dari upah minimum kabupaten (UMK), semua orang tahu: Karawang lebih tinggi dari Purwakarta.


Anggaran untuk Pilkadestak Kabupaten Karawang sekitar Rp19 miliar dan untuk Pilkadestak Kabupaten Purwakarta sekitar Rp20 miliar. Lebih besar sekitar Rp1 miliar.


Info di Kabupaten Karawang, panitia full menjadi pelaksana, termasuk pengadaan kertas suara dan lainnya. Sementara info tambahan dari Kabupaten Purwakarta, ada anggaran sekitar Rp32 juta per desa, yang belum jelas peruntukan dan muaranya.


Ini sekadar catatan kaki dari redaksi, semacam mukadimah untuk informasi selanjutnya. Paling tidak setelah memburu info lainnya. (Red)

Thursday

Catatan untuk Anggota DPRD Kabupaten Karawang


Oleh: Akhmad Munasah

 

Tertutup dan tidak mau memberikan  keterangan. Itulah kesan yang didapat dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karawang, terkait pengangguran. Hal itu, jelas sangat disayangkan oleh para pemburu berita.

 

Ternyata, di tengah keterbukaan informasi masih ada pejabat publik yang tertutup. Wakil rakyat lagi. Apalagi yang dibahas adalah masalah krusial, masalah pengangguran, terkait dengan hajat hidup orang banyak.

 

Seusai dengar pendapat, Rabu (10/3) di ruang Komisi IV DPRD Karawang. Ketua Komisi IV DPRD Kabupaten Karawang, Asep Syaripudin, tidak mau memberikan keterangan hasil dari dengar pendapat dengan Solidaritas Pengangguran dari Pribumi Karawang (SPPK) itu.

 

"Nanti saja," ujar Asep dengan enteng.

 

Ternyata, banyak hal yang harus dikontrol dari kinerja DPRD Kabupaten Karawang. Soal hasil dengar pendapat saja tertutup, apalagi soal kinerja yang ada kaitannya dengan tugas dan fungsi DPRD yang sangat vital bagi masyarakat Kabupaten Karawang.

 

Rumor pun mulai merebak, kaitannya dengan organisasi perangkat daerah (OPD). Diam-diam beredar rumor ada “dinas aspirasi”, yang tentu saja ada kaitannyadengan anggaran aspirasi anggota dewan yang terhormat.

 

Itu karena dinas teknis terkait mengurus sebagian besar aspirasi pekerjaan anggota DPRD yang jumlahnya masih wah, padahal masih masa pandemi Covid-19.

 

"Jadi yang tidak terdampak Covid-19, ya anggota DPRD," itulah rumor susulan yang turut merebak.

 

Catatan kinerja DPRD  yang masuk ke redaksi, baru sebagin kecil saja. Di antaranya tentang tertutupnya informasi dan soal aspirasi anggota DPRD.*

Ad Placement


Copyright © serberita

Teknologi