Tradisi Seba yang Bertahan di Nunukan - Talaga Majalengka - serberita

Saturday

Tradisi Seba yang Bertahan di Nunukan - Talaga Majalengka



SERBERITA.COM | MAJALENGKA  – Banyak tradisi Karuhun atau irang tua yang masih bertahan di  Orang Sunda, khususnya di Jawa Barat.

Cirebon, Garut, Sumedang dan banyak lagi yang masih memakai tatacara kehidupan seperti para orang. tuanya.

Di Kabupaten Majalengka, hubungan Nunuk dan Talaga sejak jaman kejayaan kerajaan Talagamanggung hingga saat ini tetap terjaga. Hubungan itu salah satunya bisaa ditandai dengan terjaganya tradisi Seba yang masih dilakukan oleh masyarakat Nunuk ke Talaga.

Namun yang harus dipahami adalah, Seba di sini tak seperti apa yang dibayangkan sebagian orang di mana Seba seringkali dimaknai sebagai bentuk wujud takluk dari suatu negara bawahan kepada negara penguasa.

Seba, dalam konteks hubungan Nunuk-Talaga adalah lebih ke bentuk menjaga silaturahmi dari anak ke ayah. Awalnya bermula dari sejarah bahwa Raden Arya Saringsingan yang merupakan ningrat kerajaan Talagamanggung, beristrikan orang Nunuk.

Tradisi Seba, meski sudah disesuaikan dengan kondisi sekarang, namun tetap tak mengurangi kekhidmatan. Seba yang berlangsung pada hari Senin, 30 Juli lalu, berlangsung dengan khidmat dan sederhana di Bumi Ageung Talaga, namun tidak kehilangan makna kesakralannya.
 
Sejak pagi, utusan dari Nunuk yang diwakili oleh sesepuhnya telah tiba di kediaman Nyi Ratu Padmalarang yakni di Bumi Ageung dengan membawa berbagai hasil bumi. Dahulu, Seba yang membawa hasil bumi itu dibawa dengan cara berjalan kaki dari Nunuk ke Talaga. Namun sekarang karena jaraknya yang cukup jauh, Seba hasil bumi itu sudah menggunakan mobil colt bak.

Hasil bumi yang dibawa meski secara kuantitas tak lagi seperti dahulu, namun “ruhnya” tetap ada. Utusan dari Nunuk datang dengan membawa beberapa geugeus padi, gula aren sabonjor, suweg, hui, pisang, tumpeng, opak ceos dan beberapa hasil bumi lainnya. Ibu Ratu Padmalarang menambahkan, “Dahulu, bisa sampai roay, jaat, sampai kapas pun dibawa. Mungkin sekarang tak lagi banyak produksi kapas di Nunuk.”

Dengan tertib acara berlangsung. Terasa sekali keeratan hubungan batin yang terjalin sudah lama antara Nunuk dan Talaga ini. Setelah mengucapkan pengantar kata yang begitu menyentuh, sesepuh dari Nunuk menyerahkan hasil bumi yang dibawa kepada Ibu Ratu. Sebelumnya, pihak keluarga besar Talagamanggung menyambut dengan pidato yang sederhana tapi bermakna.

Intinya, keluarga besar Talagamanggung menerima Seba “tanda bakti” dari masyarakat Nunuk kepada keluarga kerajaan Talagamanggung ini dengan baik dan menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Nunuk.

Tak lupa mendoakan pula agar masyarakat Nunuk memperoleh hasil panen yang lebih berkah dan melimpah. Setelah prosesi inti seba dilakukan, keluarga besar Talagamanggung menjamu rombongan dari Nunuk dengan jamuan makan bersama.

Sesepuh dari Nunuk menuturkan, Seba dilakukan setelah panen dan sebelum “guar bumi”. Ada pun tanggal dan bulannya tidak bisa ditentukan secara pasti, hanya saja harinya harus dilakukan pada hari Senin atau Kamis. Setelah Seba hasil bumi dilakukan, biasanya Ibu Ratu memberi ‘bibit’untuk ditanam oleh masyarakat Nunuk pada musim tanam berikutnya.

Seba ini dilakukan secara intern antara Nunuk dengan keluarga besar Talagamanggung. Grumala merupakan satu-satunya pihak di luar keluarga kerajaan Talagamanggung dan Nunuk yang mendapat kehormatan diundang pada acara Seba kali ini.

Adapun acara seremonial Seba,  dilakukan pada saat upacara adat Nyiramkeun Pusaka yang biasanya digelar secara besar-besaran di pelataran Museum Talagamanggung.

Seba, suatu tanda bakti masyarakat Nunuk kepada keluarga kerajaan Talagamanggung, telah berlangsung sekian lama bahkan mungkin telah berabad-abad lamanya.

Tradisi yang layak untuk diangkat menjadi satu bentuk budaya asli masyarakat warisan Kerajaan Talagamanggung yang hingga kini masih terjaga kelestariannya.

Agar generasi muda paham pentingnya menjaga dan merawat kekayaan budaya, bangga dan hormat akan leluhur serta mencintai warisan kekayaan sejarah sebagai sesuatu yang tak ternilai harganya, dengan mengambil nilai-nilai inti yang terkandung di dalamnya sebagai bagian dari kearifan lokal. (MTK/Red)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda