Yang Tersisa di HPN 2021. Degradasi Posisi Pers Diera Digital dan Demokrasi - serberita

Thursday

Yang Tersisa di HPN 2021. Degradasi Posisi Pers Diera Digital dan Demokrasi



Oleh : Akhmad Munasah.

POSISINYA  diimana sekarang ini, Pers. Katanya Pers adalah  vilar  keempat demokrasi  setelah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. 

Betulkah itu secara sistem ada didalamnya, dari semua tingkatan pemerintah. karena HPN Kabupaten Purwakarta, tidak tersentuh anggaran dari pemerintah. Itukah yang dinamakan sistem dan demokrasi di negeri ini.

Melihat catatan sejarah pers, bangga. Karena ada dalam kancah perjuangan dari masa ke masa.

Kemudian Hari Pers Nasional, (HPN)  diputuskan berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres)  Nomor 5 tahun 1985, disebutkan bahwa pers nasional  Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peranan penting dalam melaksanakan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.

Saat itu, Dewan Pers menetapkan Hari Pers Nasional (HPN) dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibu kota provinsi se-Indonesia.

Catatan panjang tentang pers Indonesia dan perjuangannya, terukir sangat  indah 

Tentunya  lahirnya surat kabar dan pers  tidak lepas dari sejarah lahirnya idealisme dan patriotisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan.

Era revolusi fisik, peranan pelaku pers ada didepan  menjadi pelaku perjuangan. Eksistensi pers sebagai alat perjuangan menjadi garda terdepan.

Kota Yogyakarta, menjadi saksi hidup berkumpulnya 
tokoh perjuangan, tepatnya,  8 Juni 1946. Para tokoh surat kabar, tokoh-tokoh pers nasional, untuk mengikrarkan berdirinya Serikat Penerbit Suratkabar (SPS).

Kepentingan saat itu  mendirikan SPS,  bertolak dari pemikiran bahwa barisan penerbit pers nasional perlu segera ditata dan dikelola, dalam segi idiil dan komersialnya, mengingat saat itu pers penjajah dan pers asing masih hidup dan tetap berusaha mempertahankan pengaruhnya.

Sebenarnya SPS telah lahir jauh sebelum tanggal 6 Juni 1946, yaitu tepatnya empat bulan sebelumnya bersamaan dengan lahirnya PWI di Surakarta pada tanggal 9 Februari 1946.

Karena peristiwa itulah, orang mengibaratkan kelahiran PWI dan SPS sebagai “kembar siam". Di balai pertemuan “Sono Suko" di Surakarta pada tanggal 9-10 Februari itu, wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul dan bertemu.

Pertemuan tersebut di antaranya menyetujui pembentukan organisasi wartawan Indonesia dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang diketuai Mr. Sumanang Surjowinoto dengan sekretarisnya Sudarjo Tjokrosisworo.

Sumanang dan Sudarjo bersama 8 anggota lainnya kemudian bertugas merumuskan hal-ihwal persuratkabaran nasional waktu itu dan usaha mengoordinasinya ke dalam satu barisan pers nasional di mana ratusan jumlah penerbitan harian dan majalah yang terbit hanya memiliki satu tujuan.

Era sudah berubah, pers nasional terus berkibar dan organisasional pers  tidak satu lagi PWI. 

Era juga banyak.merubah sistem dan cara penayangan berita.  Saat ini, pers masuk diera digital.

Berkaitan dengan HPN, ada yang menggelitik  dimana posisi pers nasional berada dalam ruang lingkup netral.

HUT PWI menjadi ruh kekuatan HPN, karena  hampir disetiap daerah pers lainnya belum menyatu.  

Ini menjadi penting sesama pelaku kontrol jangan sampai  ada sekat oleh HPN justru sebaliknya hrus menjadi perekat kebersamaan seperti para pelaku pendahulu yakni lahirnya idealisme dan patriotisme perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan.

Mencapainya idialisme sebagai pers, bukan sulit. Lagi-lagi kondisi sekarang ini yang serba mudah memanjakan dan mudahnya menjadi seorang jurnalis.

Tidak akan lahir idialisme pers dari seorang wartawan, bila kompetensi dan faham  tugas dan fungsi tidak dibentuk

Sehingga pers berada  diposisi mana, dan  warnapun apakah masih biru atau sudah  abu-abu. Atau pers  mungkin ada dimana mana.**

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda